Usianya memang sudah tidak muda lagi. Dengan rambut yang telah
memutih dan keriput perlahan muncul di wajahnya itu justru semangat
terus muncul layaknya kaum muda. Buktinya sosok itu telah dinobatkan
menjadi aktivis peduli lingkungan.
Adalah Mbah Sadiman. Hanya warga biasa yang tinggal di Dusun Dali, Desa Geneng Kecamatan Bulukerto, Wonogiri. Bahkan rumahnya hanya seluas 9x6 meter beralaskan tanah dan dinding tanpa polesan cat. Dia dan sang istri menghidupi diri sebagai petani penggarap lahan tumpangsari di areal Perhutani.
Namun yang istimewa dari Mbah Sadiman adalah dedikasinya kepada lingkungan. Bertahun-tahun bekerja sendiri menghijaukan Bukit Gendol dan Bukit Ampyangan yang merupakan lereng Gunung lawu sisi tenggara dengan biaya sendiri. Lahan itu merupakan milik negara yang hasilnya pasti tak akan dinikmatinya, tapi itu justru impiannya sedari kecil.
Seingatnya hanya tinggal dua petak tanah hijau di Bukit Kukusan dan Ampoyangan masing-masing 10 meter persegi yang tersisa. Hal itu justru membuat debit air merosot tajam. Bahkan untuk memperoleh air bersih dia dan warga lainnya harus memikul sumber air berjarak sekitar 500 meter dari rumah.
"Mandi juga di sana, orang harus sabar mengantre. Tahun 1975-an masih seperti itu. Tahun 1980, ada bantuan pipa pemerintah yang mengalirkan air dari Bukit Gendol mendekat ke permukiman warga. Itupun sebagian warga masih harus mengangsu," ujar Mbah Sadiman
Melihat kondisi itu, Mbah Sadiman tidak mau berpangku tangan. Pada 1996, diam-diam dia mulai menanami bukit gersang itu seorang diri. Dalam pemikirannya, tanaman yang tepat untuk bukit adalah pohon berdaun lebat, berakar kuat, dan bergetah. Bukan pinus, atau cemara, seperti di lahan Perhutani.
Dari pengalaman, menanam beringin dalam satu kelompok sebanyak lima pohon menghasilkan air lebih deras dibanding satu kelompok berjumlah tiga pohon. Ia pun lebih suka menanam pohon-pohon itu di lereng atau cekungan bukit dibanding tanah datar. Selain mencegah erosi, sumber air bisa segera muncul.
Adalah Mbah Sadiman. Hanya warga biasa yang tinggal di Dusun Dali, Desa Geneng Kecamatan Bulukerto, Wonogiri. Bahkan rumahnya hanya seluas 9x6 meter beralaskan tanah dan dinding tanpa polesan cat. Dia dan sang istri menghidupi diri sebagai petani penggarap lahan tumpangsari di areal Perhutani.
Namun yang istimewa dari Mbah Sadiman adalah dedikasinya kepada lingkungan. Bertahun-tahun bekerja sendiri menghijaukan Bukit Gendol dan Bukit Ampyangan yang merupakan lereng Gunung lawu sisi tenggara dengan biaya sendiri. Lahan itu merupakan milik negara yang hasilnya pasti tak akan dinikmatinya, tapi itu justru impiannya sedari kecil.

Mbah Sadiman dan hasil tanamannya
Tekad menghijaukan bukit itu bermula ketika dia menyaksikan
penebangan kayu hutan yang marak dilakukan. Keprihatinan bertambah saat
kebakaran hebat menghanguskan kedua bukit itu pada 1963.Seingatnya hanya tinggal dua petak tanah hijau di Bukit Kukusan dan Ampoyangan masing-masing 10 meter persegi yang tersisa. Hal itu justru membuat debit air merosot tajam. Bahkan untuk memperoleh air bersih dia dan warga lainnya harus memikul sumber air berjarak sekitar 500 meter dari rumah.
"Mandi juga di sana, orang harus sabar mengantre. Tahun 1975-an masih seperti itu. Tahun 1980, ada bantuan pipa pemerintah yang mengalirkan air dari Bukit Gendol mendekat ke permukiman warga. Itupun sebagian warga masih harus mengangsu," ujar Mbah Sadiman
Melihat kondisi itu, Mbah Sadiman tidak mau berpangku tangan. Pada 1996, diam-diam dia mulai menanami bukit gersang itu seorang diri. Dalam pemikirannya, tanaman yang tepat untuk bukit adalah pohon berdaun lebat, berakar kuat, dan bergetah. Bukan pinus, atau cemara, seperti di lahan Perhutani.

Mbah Sadiman
Sadiman lantas memutuskan menanami bukit
dengan ipik, loh, bulu, pre, terutama beringin. Selain kayu tak ditebang
kecuali sebatas sebagai kayu bakar, tanah lembab hingga sulit terbakar.
Hebatnya lagi, dia menanami lahan seluas itu terencana meski tak
tertulis.
Dia sengaja membagi dalam empat jalur. Mbah Sadiman bahkan hapal di
lokasi mana saja menanam pohon-pohon itu. Diapun tahu lokasi pohon yang
mati atau ditebang sengaja.Dari pengalaman, menanam beringin dalam satu kelompok sebanyak lima pohon menghasilkan air lebih deras dibanding satu kelompok berjumlah tiga pohon. Ia pun lebih suka menanam pohon-pohon itu di lereng atau cekungan bukit dibanding tanah datar. Selain mencegah erosi, sumber air bisa segera muncul.
Komentar
Posting Komentar